TEORI HUKUM MELEWATI RUANG DAN WAKTU


Teori Hukum Melewati Ruang dan Waktu 
(kritik terhadap positivisme)


“Harus diyakini bahwa, sejak awal dan sampai sekarang  konsep hukum tidaklah tunggal. Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato sampai Marxs, Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum melewati ruang dan waktu, pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh aliran pemikiran postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang lain Historism, Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law, Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theorie, … bahkan Hukum Progresif”. 

Bocah berusia 14 (empat belas) tahun berinisial DS, ditangkap karena dituduh mengambil voucer pulsa telepon seluler seharga Rp. 10.000,-. Perbuatan DS tersebut didakwa 7 (tujuh) tahuan penjara, ketentuan pidana yang didakwa terhadap DS adalah pencurian dengan pemberatan sebagai mana diatur dalam Pasal 363 KUHP. Satu kata yang dapat ditulis disini “IRONIS” bahkan dakwaan ini lebih tinggi daripada para “KORUPTOR”. Belum hilang ingatan masyarakat atas Kasus neneh Minah yang diputus bersalah 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 kakao, hadir lagi hilangnya nilai keadilan dan kemanfaatan atas wajah hukum negara ini. Hukum disini hanya dinilai sebagai kepastian hukum, pemikiran para penegak hukum hanya diisi dengan pandangan legar formal. Hukum positif merupakan kitab suci yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Baik dan buruk dapat dijawab dengan hukum positif, pandangan ini sering disebut dengan “Positivisme”.

Dalam positivisme, hukum dilihat sebagai close logical system. Artinya peraturan dapat dideduksi dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial dan politik.[1] John Austin dengan Analitical Legal Postitivism, menyatakan hukum adalah perintah yang berdaulat, empirical, dan terdapat suatu kekuasaan (negara) yang memberikan perintah-perintah yakni adanya orang yang mentaati perintah-perintah tersebut.[2] Austin menggantikan “cita-cita tentang keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat”.[3] Menurut Austin, hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Menurut interpretasi Austin, hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat.[4] Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the powers of superior).[5] Apabila terjadi penyimpangan terhadap perintah maka dijatuhi sanksi. Keberadaan sanksi disini sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan dalam kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena dipaksa. Maka, menurut Austin, keberadaan sanksi merupakan kepatuhan yang dipaksakan “the evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. [6]

Begitu pula dengan pimikiram Hans Kelsen. Menurut Kelsen tatanan hukum merupakan sisten normatif yang menggunakan paksaan untuk menjamin kepatutan terhadap hukum.[7] Dalam hal ini yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya (what the law ought be), tetapi apa hukumnya (what the law is).[8] Dalam penerapannya hukum harus dipisahkan secara tajam antara hukum disatu pihak dengan etika (moral), hubungan polilikal atau kemasyarakatan dipihak yang lain. Menurut Reine Rechslere, tugas dari hukum adalah memaparkan hukum yang berlaku semurni mungkin dan menjauhkan diri dari semua pertimbangan moral dan politik masyarakat. Menurut Kelsen, pendirian-pendirian moral memiliki sifat subjeltif-pribadi.[9] Penyimpangan atas norma hukum tersebut melahirkan sanksi yang merupakan konsekwensi. Dengan kata lain menurut Kelsen, sanksi harus diterapkan ketika terbukti ada pelanggaran,[10] pernyataan hukum bersifat hipotesis dan sekaligus deontik atau harus. Sanksi ini menurut Kelsen harus ada pada setiap sistem norma.

Mereka yang meliat hukum dengan logika berfikir positivisme. Peristiwa mengambil voucer yang dilakukan DS merupakan usur perbuatan “pencurian”. Asumsi dasar yang berada pada hukum pidana memang adalah “perlindungan terhadap hak individu atau orang lain”. Menurut Locke, keberadaan hukum untuk melindungi hak milik pribadi.[11] Hukum menurut Locke bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya, adanya hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.[12] Untuk memberikan perlindungan hak tersebut dibentuklah hukum pidana. Seperti dinyatakan pula oleh Hagel bahwa adanya hukum pidana untuk mempertahankan hak.[13] Hegel menyatakan bahwa tindakan kejahatan yang dibiarkan tampa tindakan tegas secara hukum akan memberikan dampak negatif dimana publik akan melihatnya sebagai hal yang wajar dan dibenarkan sehingga pada gilirannya justru mengancam hak yang seharusnya dilindungi.[14] Hal ini berarti keberadaan hukum pidana untuk mencegah pelangaran hak orang lain dan untuk memulihkan hak.

Akan tetapi dalam teori hukum masih ada cara berfikir lainnya. Yakni tidak berfikir secara formalisme dan ligisme, melainkan berkeyakinan bahwa hukum hanyalah bagian dari perkembangan dinamika masyarakat, dalam pemikiran ini tidak mungkin mempelajari hukum dilepas dari konteks sosial dan bahkan dari konteks historisnya. Menurut Eugen Ehrlich, makna hukum tidak kurang dari realitas hubungan antar manusia itu sendiri, yang berarti hukum “hubungan antar manusia”. Menurut Ehrlich, masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, norma-norma hukum dalam kenyataanya akan tercipta dari hubungan-hubungan sosial tersebut.[15] Kenyataan sosial ini tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan (opinio necessitatis). Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung yang merupakan hukum yang hidup “living law”.[16] Hukum tercipta dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Hukum tercipta lewat kebiasaan yang mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Hal ini berarti hukum merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Seperti halnya dengan pendapat  Theodor Geiger,  yang menyatakan bahwa norma “yang sebenarnya” menurupakan norma yang terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat.[17] Norma yang sebenarnya merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Kata Geiger, masyarakat itu bukan benda, akan tetapi merupakan entitas sebuah proses (gesellschaft is kein ding, sondern em prozess). Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis.[18]

Rescoe Pound, melihat hukum berfungsi sebagai menata perubahan. Disini Pound memunculkan teori tentang law as a tool of social engineering. Menurut Pound, hukum adalah untuk “menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat”. Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proposional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hiingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan semininum mungkin menghindari benturan.[19] Apa yang dibutuhkan oleh hukum dalam kehidupan sosial, adalah hakim yang tidak hanya menaruh perhatian pada kata-kata dari perintah-perintah. Pound, mengusulkan agar para ahli hukum perlu memperhatikan fakta-fakta sosial. Sebab kehidupan hukum terletak pada pelaksanaanya.[20] Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan, melainkan studi tentang bekerja hukum. Menurut Pound kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilakannya bagi dunia sosial.[21]

Menurut pandangan saya seharusnya para penegak hukum negeri ini jangan hanya melihat hukum sebaga sarat prosedur formal belaka, para penegak hukum harus melihat hukum bertujuan sebagai alat pencapaian tujuan sosial sehingga harus dapat menangkap nilai keadilan di masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh George Gurvitch, bahwa kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudakan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama. Dalam hidup bersama, realitas empiris digabung dengan nilai ideal normatif. Penggabungan ini hanya mungkin melalalui nilai kedilan. Karena di satu pihak terdapat bidang moral yang mutlak dan sempurna yang hanya dapat ditinjau dalam ranah intuitif, di lain pihak terdapat realitas empiris, yang dapat diungkapdalam pengalaman riil. Nilai keadilan berdiri di tengah, sebab keadilan itu merupakan suatu yang ideal, yang memiliki segi pengalaman yang logis dan umum.

Kenyataan normatif menurut Gurvitch berarti mewujudkan keadialan dalam realitas empiris, yang merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antar manusia “hukum sosial asli”. Maka dapat disimpulkan  dalam konteks kasus DS, jaksa hanya menganalisis dengan keadilan prosedural semata, yaitu pemenuhan unsur-unsur tindak pidana. Seharusnya para penegak hukum melihat lebih jauh substansi dari Pasal 363 KUHP.

Terdapat hal penting yang dapat dipelajari dalam kasus DS terutama dalam perspektif teori hukum. Sebagai seorang juris yang telah mempelajari teori hukum hendaknya memiliki perspektif yang lebih luas dalam melihat suatu permasalahan hukum yang ada. Harus diyakini bahwa, sejak awal dan sampai sekarang ini konsep hukum tidaklah tunggal. Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato sampai Marxs, Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum melewati ruang dan waktu, pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh aliran pemikiran postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang laian Historism, Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law, Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theorie, Posmoderismedan bahkan Hukum Progresif.  Menurut Satjipto Rahardjo, pemikir postivisme “Hans Kelsen” bukan berarti tidak diperlukan, akan tetapi analisis perlu diperkaya dengan optik “kacamata” dan pendekatan baru. Kasus DS menggambarkan bahwa suatu kepastian akan dengan mudah terpenuhi saat merujuk pada ketentuan normatif kata demi kata dalam norma hukum. Padahal menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunujukan pada “kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas, menunjukan pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan hidup manusia. Sedangkan, aspek keadilan menunjukkan pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.


Laman terkait  : 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Panggungweb | A.Zainibakry | Panggung Pakamban
Copyright © 2011. Blogger editing - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger